Arti Memiliki
“Aku suka semua tentang kamu, Siv”, kata Septian.
“Kenapa? Kenapa kamu baru bilang sekarang?”, jawab Sivia.
“Memangnya kenapa kalau aku baru saja bilang kalau aku suka semua tentang kamu? Apakah itu salah?”, tanya Septian.
“Ya salah! Karna sekarang aku udah pacaran sama Nathan!”, jawab Sivia. Kesal.
“Lalu hubungannya kalau kamu udah pacaran sama Nathan, apa?”, tanya Septian. Baginya pernyataannya tadi itu tidak salah. Mengungkapkan perasaan boleh-boleh saja kan?
“Karena… karena… karena aku tidak bisa jadi milik kamu!”, jawab Sivia. Sebenarnya, Sivia suka dengan Septian. Tapi Septian tidak pernah mengutarakan perasaannya hingga dia jadi pacar Nathan, saudara Septian sendiri.
“Tak apa, Siv. Aku tahu kalau aku tidak bisa memilikimu, maka dari itu aku mengatakannya padamu sekarang, di saat kamu sudah dimiliki oleh Nathan. Menyukai dan menyayangi tak harus memiliki kan?”, kata Septian.
“Tapi… apa maksud kamu yang selalu mendukung aku dengan Nathan? Bukankah itu membuatmu sakit?”, bingung Sivia. Baru pertama kali Ia menemukan cowo sejenis Septian.
“Sakit?”, tawa Septian yang semakin membuat Sivia tidak mengerti. Apakah orang di sampingnya ini mempunyai masalah kejiwaan? Hingga tidak tahu rasa sakit hati itu apa?
“Aku tak pernah merasakan sakit bila melihat orang yang kusayangi dan kusukai itu bahagia. Masa sih aku sakit waktu melihat temanku yang sangat kusayangi itu tersenyum gembira waktu orang yang sangat kusukai mengatakan ‘ya’ untuk dimiliki dan dijagai oleh temanku. Haruskah ku sakit? Yang harusnya kamu tanyakan adalah apakah aku bahagia melihat kalian? Kalau kamu bertanya hal itu, pasti kujawab ‘ya, aku bahagia!”, lanjut Septian.
“Tapi.. dari dulu aku juga ingin dimilikimu dan dijagaimu. Tapi karena kamu selalu mendukung Nathan agar bisa memiliki aku, aku pun berpikir kalau kamu tidak pernah mempunyai rasa untuk memiliki dan menjaga aku. Oh, ya! Kamu belum jawab pertanyaanku. Kenapa kamu mendukung aku dengan Nathan?”, tanya Sivia.
“Yang pertama yang tadi sudah aku jelaskan. Bahagia melihat orang yang kusayangi dan kusukai tersenyum gembira. Dan yang kedua, karena aku yakin aku tak bisa menjaga kamu. Hal itulah yang membuat aku tidak pantas memilikimu”, jawab Septian.
“Mengapa kamu tidak yakin bisa menjagaku?”, tanya Sivia.
“Mungkin karna aku akan… hmm sudahlah lupakan”, kata Septian. Ia tidak mau memberikan alasan mengapa dia tak pantas memiliki Sivia.
“Mengapa? Apa kamu sudah memiliki seseorang? Atau kamu dipaksa untuk memiliki dan menjaga seseorang?”, tanya Sivia.
“Bukan. Begini saja deh. Aku bakal ceritakan sesuatu tentang Nathan. Tentang pernyataan Nathan yang membuatku tertawa”, kata Septian. Berusaha mengganti topik.
“Pernyataan apa? Apa dia bilang kalau aku mau dijadikannya mainan? Kan dia playboy? Aku aja bingung, kok bisa ya aku terima dia?”, bingung Sivia.
“Tidak. Jadi begini ceritanya”, Septian memulai ceritanya.
***
“Eh, Sep! Coba liat penampilan gue”, kata Nathan dengan intonasi –gue-ganteng-banget-kaliiii.
“Ya, gue udah liat”, jawab Septian tanpa melihat sedikitpun. Matanya terus melihat buku Fisika.
“Lo liat gimana? Daritadi mata lo natap buku fisika mulu! Ga bosen apa lo kerjaannya ngitung-ngitung mulu?”, tanya Nathan.
“Iya-iya. Nih gue liat lo. Rewel amat!”, kata Septia sambil melihat penampilan Nathan.
“Gimana? Gimana?”, pamer Nathan.
“Gimana kenapa? Penampilan lo busuk begitu!”, jawab Septian. Bercanda.
“Ah, elo mah. Eh, gue mau nanya nih, jujur ya! Kata lo, gue pantes memiliki seorang cewe ga sih?”, tanya Nathan memasang muka serius.
“Stop! Lo bilang milikin seorang cewe? Makasih Ya Tuhaaaaaaaaaaaaan! Sudah membukakan matanya Jonathan Prasetia ini untuk tidak hombreng!”, canda Septian.
“Heh! Lo kira gue hombreng apa? Beneran nih gue serius! Ga lagi bercanda, Sep!”, kesal Nathan.
“Emangnya lo mau milikin siapa sih? Sampe lo udah 2 jam di depan cermin, ngabisin gatsby gue, make parfum gue yang asli LONDON, yang gue pake seirit-irit mungkin dan dengan tampang tak berdosa lo sisain setengah botol? Ganti woy!”, kesal Septian. Melihat parfumnya yang sudah tampak setengah.
“Hehehe, maaf Sep! Berkorban demi saudara sendiri kan gapapalaah. Lo jangan ngakak ya! Gue tuh malem ini mau nembaaak….”, gantung Nathan. Membuat Septian penasaran.
“Nembak sapa lo? Anak orang jangan ditembak-tembak! Kalo lo tembak bonyoknya dateng ke sini! Ke rumah gue!”, kata Septian.
“Rumah lo rumah gue juga kan?”, kata Nathan.
“Definisinya siapa tuh?”, singgung Septian.
“Gue! Back to topic ya. Gue mau nembaaaaak…”, gantung Nathan lagi.
“Aelaaah! Lo mau nembak siapa? Cepetan bilang!”, penasaran Septian.
“Sivia!”, jawab Nathan mantap.
***
“Hahaha, aku ngakak loh waktu Nathan bilang mau nembak kamu. Kamar aku nih, sampe wangi parfum aku sendiri. Dua hari kamarku wangi parfum!”, tawa Septian.
“Cuma itu? Ga lucu kali”, kata Sivia. Dari segi manapun tak ada yang lucu pada cerita Septian.
“Bukan lucu aja, tapi ada… oke deh aku lanjutin”, lanjut Septian.
***
“Yakin lo? Kontras banget lo sama Sivia!”, jawab Septian. Masih tertawa.
“Ye… lo dukung gue dong! Gue mau Sivia bener-bener jadi yang terakhir buat gue. Gue udah kena karma, Sep! Selama ini gue suka mainin cewe di sekolah gue yang di Surabaya. Dan di saat gue tobat dan menyayangi satu cewe, ternyata dia udah punya pacar dan mau sama gue Cuma buat ngebalas sakit hati temennya yang pernah gue mainin. Dan kali ini gue janji, Sep. Gue ga akan menyakiti hati cewe lagi. Gue ga mau bikin Sivia nangis karna gue. Dan Sivia mesti jadi yang terakhir buat gue! Dan gue akan ngehajar orang yang bikin Sivia nangis! Ga peduli dia cewe ato cowo! Temen gue atau siapanya gue. Gue janji, Sep! Gue, Jonathan Prasetya akan memiliki dan menjaga Sivia Adreva setulus hati gue!”, janji Nathan.
“Iya, Om. Ngomong sih ngomong, tapi ga usah pake acara ngasih kuah gitu dong!”, protes Septian.
“Hehehe maaf, tadi sekalian gue latihan buat nembak Sivia. Tadi gue ngomong sama lo berasa ngomong sama Sivia. Hehehe”, kata Nathan.
“Hah?! Ceritanya lo nyamain gue sama Sivia nih? Gue cowo, Om! Dan Sivia, bunga jiwa lo itu, cewe!”, kata Septian.
“Yayaya, eh lo mau ikut ga?”, ajak Nathan.
“Ikut? Ikut ngeliat lo nembak Sivia? Jual kacang goreng deh gue di sana”, kata Septian. Malas.
“Ya, lo di mobil aja! Jangan keluar! Nanti kalo gue diterima, gue kan bakal ngajak Sivia pulang bareng nih, lo pulang naik taxi gitu”, kata Nathan.
“HAH?! Ga mau! Kalo gue diapa-apain sama supir taxinya gimana?”, kata Septian pura-pura takut.
“Najis lo! Kalo lo diapa-apain gue ga peduli. Lo kan cowo! Sivia cewe! Kalo Sivia yang diapa-apain, bonyoknya dateng ke rumah lo. Secara tidak langsung kan nama lo ikut tercemar. Mau lo?”, tanya Nathan.
“Ga ah, kurang kerjaan banget gue diem di mobil liatin lo sama Sivia. Mending deh kalo diterima, kalo ga? Usaha gue diem di mobil kan sia-sia”, kata Septian.
“Nah kalo ga diterima, gue butuh elo Sep!”, kata Nathan.
“Buat?”, bingung Septian.
“Nyetir mobil! Gue ga sanggup nyetir kalo ditolak, Sep! Lo inget kan, waktu pertama kali gue nembak Sivia dan ditolak? Lo tahu kan gue nyaris jatuh dari tangga sekolah? Lo mau hal itu terjadi lagi?”, tanya Nathan.
“Lagian, di mobil kan elo bisa berduaan sama yayang lo itu. Si buku Fisika! Ayolah Gerrysthan Septian, bantu saudaramu iniiii”, mohon Nathan.
“Okedeh! Tapi inget ya lo! Mau lo diterima apa engga. Lo mesti bayar semua barang-barang gue yang lo abisin! Gatsby, parfum, bensin! Awas lo yaa!”, kata Septian.
“Semoga nasib gue ga kaya waktu pertama kali nembak Sivia”, doa Nathan.
“Amin. Kalo gitu, ga sia-sia deh gue sering ngejek lo sama Sivia”, kata Septian.
“Haha, yo berangkat!”, ajak Nathan.
***
“Nah makanya aku yakin kamu pasti bakal bahagia sama Nathan. Nathan udah janji sama gue. Kalo Nathan janji sama gue, pasti dia tepatin. Kecuali yang soal Gatsby, Parfum, sama bensin”, canda Septian.
“Hmm.. makasih ya, Sep”, kata Sivia.
“Untuk penjelasan Nathan? Ah itu sih gapapa, aku ngasih tahu supaya kamu ga meragukan cinta Nathan buat lo”, kata Septian.
“Bukan, bukan untuk itu”, kata Sivia.
“Lalu?”, bingung Septian.
“Untuk pengertian memiliki. Dari tadi kamu nyeritain tentang nathan, aku sambil mikir. Kamu lebih memilih kebahagiaan Nathan daripada memiliki aku. Padahal kamu suka aku kan? Jadi aku mendapat pemahaman lain dari kata memiliki. Memiliki adalah segala sesuatu yang harus ingin kita punya. Tapi jika kamu tidak membutuhkannya, kita bisa memberikan ‘hal yang kita miliki’ itu pada orang lain. Karna kita juga akan memiliki sesuatu. Yaitu, memiliki kebahagiaan. Karena kita bisa memberikan sesuatu yang tak kita butuhkan kepada orang yang membutuhkan. Berarti memiliki bisa disebut juga kebahagiaan”, kata Sivia.
“Wah aku ga nyangka kamu bisa mikir sampe segitu”, kagum Septian.
“Jadi sekarang biar aku bisa memiliki kebahagiaan bersama Nathan apa yang mesti aku lakukan buat kamu?”, tanya Sivia.
“Hah?”, bingung Septian.
“Ucapan terima kasih gitu, Masa aku sama Nathan aja yang bahagia? Kamu mau apa?”, tanya Sivia.
“Aku mau tidur di sini, Kamu ke RS Partinels aja ya! Bilang ke Nathan aku di sini”, pinta Septian.
“Hah? Ngapain Nathan di rumah sakit? RS Partinels lagi. Bukannya itu rumah sakit buat penderita kanker sama tumor gitu ya?”, tanya Sivia.
“Nanti Nathan ngasih tahu kok”, kata Septian.
Sivia pun meninggalkan Septian dengan rasa bingung. Untuk apa Septian menyuruhnya menemui Nathan di rumah sakit? Rumah sakit yang menangani kanker sama tumor lagi! Sepeniggal Sivia, Septian menulis surat untuk Sivia dan Nathan.
“Nathan!”, panggil Sivia. Untungnya begitu Sivia memasuki rumah sakit, Sivia langsung melihat Nathan.
“Eh, kamu tahu aku di sini dari mana?”, tanya Nathan.
“Hah? Mana Septian, Siv? Kasih tahu aku dimana anak itu sekarang?”, tanya Nathan.
“Pokoknya begini. Tadi aku ngobrol sama Septian. Terus pas udah selesai, dia bilang mau tidur. Ya udah aku tinggal. Terus dia bilang aku harus nyusul kamu ke sini dan bilang ke kamu kalo dia ada di sana”, jelas Sivia.
“Di sana itu di mana?”, panik Nathan.
“Di Panti Asuhan Bunda Cinta”, jawab Sivia bingung. Ada apaan sih?
“Dokteeeeeeeer!”, panggil Nathan. Teriakan Nathan memanggil dokter membuat para dokter panik. Semua dokter di situ sepertinya sedang mencari seseorang.
“Kenapa? Apa Dek Nathan sudah ketemu Dek Gerrys?”, tanya dokter.
“Belum, tapi pacar saya tahu di mana dia! Kita mesti jemput dia sekarang, Dok!”, kata Nathan.
“Baik, ayo kita ke sana!”, kata dokter.
Mereka semua langsung menuju tempat Septian berada. Sivia yang bingung bertanya pada Nathan apa yang terjadi.
“Than, emang ada apaan sih?”, tanya Sivia bingung.
“Kenapa gimana?”, tanya Nathan balik. Di otaknya sekarang, dia mesti cepat-cepat bertemu saudaranya ini.
“Kok kamu ada di rumah sakit? Terus kenapa kita mesti nyusul Septian pake ambulance?”, tanya Sivia.
“Lah kamu ga tahu?”, tanya Nathan balik.
“Ga tahu? Ya emang aku ga tahu! Mau tahu dari mana coba? Ga pernah ada yang cerita!”, kesal Sivia.
“Hmm.. Septian itu ada tumor di otaknya. Kata dokter itu tuh udah lama. Cuma .. Septian ga pernah cerita. Sampe akhirnya 3 hari yang lalu gue ngeliat Septian kacau banget.. Dia pingsan begitu aja di depan kamar. Aku yang panik langsung bawa dia ke RS. Sama RS dia dipindah ke RS ini. Dan aku baru tahu kemarin kalo dia itu ada tumor di otaknya. Dokter bilang harapannya 70:30. Tapi aku ngotot dia mesti dioperasi. Septian juga nolak. Aku marahlah. Kenapa dia ga pernah cerita kalo dia punya penyakit. Aturannya malam ini dia dioperasi. Eh ga tahunya pagi ini dia malah kabur. Jelaslah semuanya pada panik!”, kata Nathan.
“Harusnya kepalanya botak kan kalo mau dioperasi?”, tanya Sivia ngawur.
“Mungkin karna mesti di botak dia kabur. Dia malah ninggalin surat di kasurnya kalo dia mau pergi sebelum dipanggil Tuhan. Katanya kalo dia sanggup dia bakal balik ke sini, kalo ga sanggup dia bakal ngutus seseorang buat ngasih tahu ke aku. Ternyata utusan dia itu kamu”, kata Nathan.
“Tapi kok dia ga pernah cerita kalo dia punya tumor otak?”, tanya Sivia.
“Dia itu ga mau lemah, dari kecil dia udah sendiri. Dia itu ga pernah ngerasain yang namanya kasih sayang”, kata Nathan.
“Lah, maksud kamu?”, tanya Sivia.
“Septian itu sebenernya bukan anak kandung ortunya alias Tante dan Om aku. Menurut cerita ortu aku yang ngebantu pengapdosian Septian, Septian itu anak yatim piatu. Waktu umur 4 tahunan orang tuanya meninggal karna kecelakaan runtuhnya atap-atap terowongan. Septian waktu itu ga ikut. Orang tua Septian tuh kaya. Mungkin Pamannya pengen duit ortu Septian. Makanya Septian dikasih ke Panti Asuhan. Om sama Tante aku ga bisa punya anak. Ya mereka ngadopsi anak yang belum masuk TK. Ya mereka pilih Septian deh. Cuma karna Om sama Tante aku sibuk, dia jadi sering sendiri. Akhirnya aku disuruh nemenin Septian deh. Ya Septian mulai sering cerita sama aku”, cerita Nathan. Air matanya sudah ingin keluar, Cuma Ia tahan di depan Sivia.
“Oh gitu. Berarti kalian sering cerita bareng kan?”, tanya Sivia.
“Sering banget. Cuma ada satu hal yang sampai sekarang aku ga tahu”, kata Nathan.
“Apaan?”, tanya Sivia.
“Tentang cewe yang ga pantes dia miliki”, jawab Nathan. Mendengar pernyataan itu, Sivia yakin orang yang dimaksud Septian adalah dirinya.
“Tahu dari mana tentang cewe itu?”, tanya Sivia.
“Jadi beginii..”, Nathan memulai ceritanya.
“Eh! Lo tuh ngomongin gue hombreng padahal lo kan yang hombreng?”, ejek Nathan. Mencoba bercanda setelah dari kemarin Septian menjerit-jerit kesakitan.
“Eh! Ngomongnya kurang ajar banget lo! Gue normal ya!”, kata Septian. Masih kesal karna Ia mesti dirawat di rumah sakit. Toh, penyakitnya juga ga bakal sembuh.
“Terus kalo lo normal, lo suka siapa?”, tanya Nathan.
“Somebody”, jawab Septian.
“Alah! Jangan sok english deh lo! Jawab jujur!”, kata Nathan. Penasaran.
“Ga usah nama kali ya. Pokoknya ada cewe yang dari sejak SMP gue sukain. Tapi gue yakin, gue ga pantes milikin dia”, kata Septian.
“Kenapa? Dia udah punya cowo?”, tanya Nathan. Kasihan juga sih.
“Bukan, dia dari dulu belum punya cowo kok! Tapi lo sekarang udah tahu kan kondisi gue gimana? Makanya kalo dia jadi milik gue, gue.. gue ga bisa jagain dia. Yang ada, dia yang jagain gue. Daripada ga bisa ngejaga dia, ya ga usah gue milikin dong”, kata Septian. Menahan sakit di kepalanya.
“Siapa sih?”, penasaran Nathan. Dia tahu mungkin dia tidak bisa melihat Septian lagi. Makanya Ia ingin ngobrol selama Septian masih ada.
“Sebut saja dia cewe yang ga pantes gue miliki”, jawab Septian lalu tertidur. Mungkin karna pengaruh obat penenang.
“Sampai sekarang aku ga tahu. Emang sih dia baru cerita kemarin. Cuma.. ya kenapa dia ga jujur gitu. Kan dia.. dia tahu kalo umru dia ga panjang lagi”, kata Nathan. Suaranya mulai bergetar.
“Hmm.. kalau kamu tahu cewe itu siapa, cewe itu bakal kamu apain?”, tanya Sivia. Sebenernya salah juga sih dia menanyakannya pada Nathan. Nathan jadi inget semuanya tentang Septian. Itu membuat Nathan sedih.
“Ga diapa-apainlah! Dia kan ga tahu kalau Septian suka dia, palingan gue samperin dia dan bilang kalo dulu Septian suka dia”, jawab Nathan.
“Kalo.. misalnya cewe itu.. aku?”, tanya Sivia hati-hati.
“Hmm ga tahu deh. Kalau aku marah sama kamu, aku bisa dibantai sama Septian! Waktu itu dia bilang ke aku, kalau aku marah sama kamu, dia bakal ngusir aku dari rumahnya dan ga bakal anggap aku lagi sodara”, jawab Nathan.
“Begitu”, gumam Sivia.
Setelah itu hanyalah sunyi yang menemani. Sivia yakin ‘cewe yang ga pantes dimiliki’ adalah dirinya. Sedangkan Nathan berusaha tetap terseyum walaupun Ia sangat sedih. Sampailah mereka di Panti Asuhan Bunda Cinta. Dan mereka menuju tempat di mana Sivia dan Septian mengobrol. Dan terlihatlah tubuh Septian yang sudah mulai membujur kaku. Dokter mengira, beberapa menit setelah Sivia pergi, Septian menghembuskan nafas terakhirnya. Kemudian jasad Septian dibawa ke RS dengan ambulance. Sivia sudah tidak kuasa menahan tangis. Air matanya tumpah. Ia menangis di pelukan Nathan. Tak kuat melihat orang yang Ia sayangi harus pergi. Nathan juga. Air matanya sudah tumpah dari tadi. Ia.. merasa bersalah sebagai sodara. Harusnya Ia bisa lebih cepat mengetahui penyakit Septian. Kalau saja Ia lebih cepat…
“Itu.. di tangan Septian ada apaan?”, tanya Sivia. Terlihat di tangan Septian seperti ada kertas. Suster yang menemani mangambil kertas yang digenggam Septian.
“Tulisannya untuk orang yang kusayangi dan kusukai”, kata suster itu.
“Boleh saya lihat, Sus?”, pinta Nathan.
“Silakan”, kata suster sambil menyodorkan surat tersebut pada Nathan.
Nathan mebuka kertas itu dan membacanya bersama Sivia.
Maaf sampai membuat repot kalian ya J
Buat Nathan, meskipun gue ga ada, lo tetep boleh tinggal di rumah gue kok. Dan tenang, gue ga bakal ngegentayangin lo walaupun lo belum ganti gatsby, parfum, sama bensin mobil gue. Setidaknya lo udah ngeganti dengan kebahagiaan. Gue seneng lo bisa jadian sama Sivia.
Buat Sivia, makasih atas waktunya tadi. Maaf juga kalo aku ga pernah ngasih tahu kali aku sakit setidaknya sebelum aku pergi, aku udah ngungkapin semuanya. Lega deh! Gue udah bisa pergi dengan tenang. Mungkinaku ga mati-mati dari kemarin karna belum ngungkapin ke kamu kali ya? Hahaha. Inilah Siv, alasan aku ga bisa milikin kamu. Karena aku tak bisa menjagamu. Tak bisa menjaga lebih baik tak usah memiliki. Masih ingat kan?
Pokoknya buat kalian, gue ucapin beribu-ribu terima kasih. Bye J
NB: Than, cewe yang ‘ga pantes gue milikin’ yang kemarin gue cerita ke lo, sebenernya pacar lo. Maaf ya baru bilang sekarang. Cz kalo bilangnya dari dulu, pasti lo ngebiarin gue sama Sivia. Kalo itu terjadi kan, kasihan Sivia yang ditinggal gue. I guess, pasti Sivia lagi nangis kan? Belum jadi pacar gue aja udah nangis, gimana kalo dia jadi pacar gue coba? Haha, Im just kidding, Siv!
Love you, Guys!
Gerrysthan Septian
Begitulah isi surat Septian. Sivia pun kembali menangis. Menangis histeris di pelukan Nathan. Air mata Nathan semakin deras. Ia masih tidak percaya bahwa saudara yang merangkap sahabatnya itu harus menghadap Yang Kuasa terlebih dahulu.
“Makasih, Sep atas semuanya. Makasih. Makasih banget! Lo adalah orang terhebat yang pernah gue kenal! Yang tenang ya lo disana. Gue sama Sivia di sini bakal baik-baik aja kok”, kata Nathan. Air matanya masih mengalir. Sedangkan Sivia yang mendengar hal itu hanya berucap dalam hati.
“Makasih atas arti memilikinya. Aku.. aku sayang kamu sebagai seorang sahabat! Dan gue juga bakal sayang sama Nathan kok. Sesayang aku sama kamu”, ucapnya dalam hati.
# The End #